Pada lingungan dengan kondisi
yang baik bagi perkecambahan seperti cukup air, temperatur cocok dan komposisi
atmosfer normal, pada benih-benih tertentu proses perkecambahan tidak terjadi.
Benih ini sebenarnya viabel, karena benih dapat berkecambah jika mendapatkan
perlakuan khusus sebelum dikecambahkan. Benih demikian inilah yang dikatakan
benih dorman, atau benih yang berada dalam tahap dormansi.
Secara
fisiologis, Evenari dalam Schopmeyer
(1974) menerangkan bahwa benih untuk
bisa berubah menjadi kecambah harus melewati
3 tahap yang saling saling tumpang tindih yaitu: 1) absorpsi air
terutama melalui imbibisi, proses ini menyebabkan membengkaknya benih, dan juga
menyebabkan pecah atau merekahnya kulit benih, 2) bersamaan dengan itu terjadi
aktivitas enzimatik, peningkatan kecepatan respirasi (yang membutuhkan oksigen)
dan assimilasi yang ditandai dengan penggunaan cadangan makanan, dan
translokasi ke area pertumbuhan, dan 3) pembesaran dan pembelahan sel yang memunculkan akar dan plumule.
Dormansi ini dapat diakibatkan
oleh bermacam-macam hal, mungkin karena embryo belum masak, kulit biji
impermeabilitas terhadap gas, atau sebab-sebab lain (Mayer &
Poljakoff-Mayber, 1963). Penyebab dormansi yang sangat meluas adalah karena
pada beberapa jenis tanaman benih memiliki
organ tambahan berupa struktur penutup benih yang keras. Kulit demikian ini ditemui pada banyak jenis
dari beberapa famili. Kulit benih yang keras ini biasanya menyebabkan dormansi melalui satu
dari tiga cara, yang menurut Mayer & Poljakoff-Mayber (1963) adalah kulit yang keras mungkin menyebabkan
impermeabel terhadap air, impermeabel terhadap gas atau mungkin secara mekanik
menekan perkembangan embrio.
Impermeabilitas air
dan gas karena struktur kulit yang keras banyak terjadi pada jenis-jenis dari keluarga Leguminoceae
dan Caesalpineaceae. Kulit benih ini tahan terhadap gesekan dan kadang terlindungi
oleh lapisan seperti lilin. Kulit benih yang keras ini sebenarnya secara
alamiah berfungsi untuk mencegah kerusakan benih dari serangan jamur atau
serangga predator (Leadem, 1997). Menurut Mayer & Poljakoff-Mayber (1963)
kulit benih ini baru akan menjadi
permeabel jika kulit benih telah terkikis melalui beberapa cara. Di hutan,
secara alamiah kulit benih akan hancur, terkikis, terlunakkan oleh gosokan
mekanis, serangan mikrobia, kebakaran hutan, karena pengaruh keasaman tanah,
atau mengalami dekomposisi kimiawi setelah melalui saluran pencernakan hewan.
Atau, bisa jadi benih mengalami deraan cuaca, temperatur panas dan dingin yang
bergantian mengakibatkan memuai dan mengkerutnya benih sehingga benih lekang
atau retak. Contoh dari fenomena ini, seperti
yang ditulis oleh Khurana dan Singh (2001), adalah benih Gmelina arborea dan Acacia
nilotica yang jika terkunyah domba dan kambing kecepatan perkecambahannya
meningkat. Benih dari Acacia senegal
dan Ceratonia siliqua mudah berkecambah
setelah melewati saluran pencernaan kambing. Dormansi benih Tectona grandis juga dapat dipatahkan
oleh rayap. Demikian juga dengan benih tanaman Cecropia obstusifolia yang menunjukkan peningkatan perkecambahan
setelah melewati saluran pencernaan kelelawar.
Perlakuan
pada kondisi laboratorium merupakan adopsi dari kejadian alam seperti di atas.
Berbagai macam cara telah dikembangkan untuk memecahkan permasalahan dormansi
karena kulit benih yang keras ini, yaitu melalui perlakuan pendahuluan sebelum
benih dikecambahkan. Perlakuan ini antara lain adalah perlakuan dengan perendaman dalam air, skarifikasi
dengan bahan kimia, dan skarifikasi mekanik.
Cara
penulisan sitiran:
Pramono, A.A. 2006. Pemecahan dormansi pada benih-benih berkulit keras.Info
Benih. Vol. 1. No. 1. p 69-78.Baca artikel utuh: http://rimbabenih.blogspot.co.id/2016/01/pemecahan-dormansi-pada-benih-benih.html
Lainnya
0 komentar:
Posting Komentar