Jati (Tectona grandis L. f), yang dikenal
sebagai salah satu jenis kayu tropis yang paling berharga di pasar
internasional, termasuk dalam suku Verbenaceae. Jati tumbuh secara alami di
wilayah Asia bagian tenggara. Daerah sebaran asli dari jati meliputi India,
Myanmar, dan Thailand.
Jati pertama
kali ditanam di Indonesia (di Pulau
Jawa) diperkirakan pada abad ke 2 Masehi, yang dilakukan oleh para penyebar
agama Hindu. Saat ini jati telah dikenal secara luas dan dikembangkan oleh
pemerintah, swasta dan petani. Tanaman ini telah banyak
dikembangkan, bahkan di beberapa tempat menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan tradisional masyarakat.
Di
Indonesia, jati banyak dikembangkan dalam bentuk HTI terutama oleh Perum
Perhutanai atau oleh masyarakat umum
dalam bentuk hutan rakyat. Di Jawa jati merupakan jenis pohon penghasil kayu
yang penting. Pohon ini sudah lama dikenal dan diminati oleh masyarakat
sehingga pengembangannya sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani, pedagang, dan industri pengolahan, dan secara umum berperan dalam pembangunan daerah dan
nasional.
Berbagai buku tentang teknik buididaya
jati sudah banyak beredar, namun secara umum pola-pola pengembangan atau
teknik-teknik silvikultur yang disampaikan, masih berorientasi pada percepatan
pertumbuhan pohon jati. Sangat jarang ditemukan informasi tentang teknik
silvikultur yang mempertimbangkan pengaruhnya
terhadap kualitas kayu.
Kualitas kayu?
Walaupun
istilah kualitas kayu banyak digunakan namun tidak mudah untuk didefinisikan,
dan persepsi tentang kualitas kayu dapat berbeda di antara sektor atau industri
pengguna kayu yang berbeda. Mitcell dalam Macdonald & Hubert (2002)
menyatakan bahwa kualitas adalah resultante dari karakteristik fisik dan
kimiawi yang dimiliki sebuah pohon atau bagian dari pohon yang dapat memenuhi
sifat yang diinginkan dari produk akhir (end
product) yang berbeda, sedangkan Briggs dan Smith dalam Macdonald &
Hubert (2002) menambahkan bahwa kualitas kayu sebagai kesesuaian dari sifat kayu
dengan penggunaan akhir tertentu. Dengan demikian untuk menentukan kriteria
kualitas kayu jati maka perlu dipahami atau diidentifikasi sifat-sifat kayu jati
yang diperlukan oleh pengguna akhirnya .
Jati dihargai tinggi oleh industri kayu karen sifat fisik
dan mekaniknya yang superior, dan juga karena penampilan estetikanya yang
menarik. Kayu terasnya secara alami awet dan tahan terhadap pathogen (Kokutse et al.
2004). Karena keawetan dan nilai
dekoratifnya, kayu jati dikenal
sesuai untuk banyak kegunaan baik untuk kebutuhan eksterior maupun interior, termasuk konstruksi, mebel, dan cabinet, bantalan
rel, veneer dekoratif, joinery, badan
kendaraan dan kapal, pertambangan, produk-produk
reconstitute dan lain-lain
(Bhat, 2000).
Oleh karena
itu Bhat (2000) menyatakan bahwa faktor struktural yang seharusnya menjadi
perhatian pengelola hutan jati adalah tinggi pohon, diameter batang, bentuk
batang, frekuensi dan ukuran mata kayu, tegangan kayu , proporsi kayu juvenile, karakteristik (warna dan
ekstraktif), tekstur dan urat kayu (grain).
Menurut Bhat, 1998 dalam Pérez & Kanninen (2005) sifat penting yang diinginkan oleh
pengguna akhir pada jati adalah batang lurus dengan bentuk silindris, dengan puntiran dan mata kayu sedikit, proporsi
kayu juvenil dan tegangan kayu yang rendah, proporsi kayu teras tinggi (>
85%), kerapatan kayu optimum (> 0.675 g cm–3), and kekuatan kayu
cukup (MOR > 135 N mm–2).
Pola pertumbuhan jati yang ritmik dan pengaruhnya terhadap kualitas kayu
Secara umum
pertumbuhan pohon di wilayah tropis dapat dkelompokkan menjadi 2 pola yaitu
pertumbuhan ritmik (rhythmic growth)
dan pertumbuhan kontinyu (continuous
growth). Pada pertumbuhan ritmik, tunas
secara endogen memiliki pola perpanjangan periodik yang jelas, sedangkan
pada pertumbuhan kontinyu, tunas tidak
menunjukkan karakteristik tumbuh secara periodik (Halle et al.,1978).
Jati termasuk
jenis tanaman yang memiliki pola pertumbuhan ritmik. Pada musim penghujan
tunas-tunas tumbuh memanjang, kemudian daun-daun membentuk tajuk yang subur dan
hijau, sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya ketika seluruh daun gugur dan
pohon terhenti pertumbuhannya.
Pada beberapa
jenis pohon, pertumbuhan ritmik terekspresikan dengan terbentuknya sejumlah
cabang secara periodik. Contohnya adalah pulai (Alstonia sp), ketapang (Terminalia
sp) dan damar (Agathis sp). Pola
pertumbuhan ini berpengaruh terhadap kualitas kayu. Misalnya pada jenis pulai,
selama periode dorman tunas utama mati, kemudian pada periode berikutnya muncul
tunas ortotroph baru yang tumbuh dengan
cepat. Bekas-bekas tunas yang mati pada
periode dorman menyebabkan terbentuknya cacat-cacat mata kayu.
Pada jati pola pertumbuhan jati juga
berpengaruh terhadap kualitas kayu. Pola pertumbuhan tunas memiliki korelasi dengan aktifitas cambium. Pertumbuhan
jati yang ritmik menyebabkan terbentuknya lingkaran tahun (growth ring) yang nyata. Penelitian oleh Rao dan Rajput (1999) di pada
hutan deciduous kering di Gujarat,
India, mengungkapkan bahwa pembelahan sel kambium dan diferensiasi simultan menjadi xylem dan floem mulai terjadi
di bulan Juni ketika tunas yang dorman mulai tumbuh. Pembelahan terjadi pada
puncaknya di bulan Juli-Agustus membentuk zona kambium yang lebar dengan 13-20
lapis sel, kemudian menurun secara gradual dan berhenti di bulan November. Selanjutnya
pada bulan-bulan yang lain zone kambium terbentuk tipis yaitu 5-8 lapis sel.
Hasil penelitiannya juga mengungkapkan bahwa pola dan periode dari aktifitas
cambium ini pada jati yang berasal dari wilayah kering berbeda dengan jati yang
berasal dari daerah basah.
Pembelahan sel kambium yang ritmik ini
membentuk lingkaran tahun dan manjadi salah satu daya tarik dari kayu jati.
Dengan demikian faktor endogen maupun faktor lingkungan yang mempengarui
aktifitas kambium ini akan berpengaruh terhadap nilai dekoratif dari kayu jati.
Misalnya curah hujan di Jawa barat yang lebih tinggi daripada di Jawa Tengah
dan Jawa Timur menurut penelitian Nobuchi et al (2005) menyebabkan perbedaan warna
yang lebih kontras. Pengaruh pertumbuhan ritmik terhadap terhadap kualitas kayu
tergantung pada tujuan produk akhir atau
selera pasar. Pasar tertentu mungkin lebih menyukai kayu jati dengan warna atau
pola lingkaran tahun tertentu, sedangkan di pasar lain atau karena selera pasar
berubah mungkin kayu jati dengan pola
dan warna yang berbeda lebih dipilih.
0 komentar:
Posting Komentar