biologi hutan

Mengenal hutan dari DNA hingga ekosistem

biologi hutan

Mengenal hutan sebagai penjaga keseimbangan alam

biologi hutan

Mengenal hutan sebagai warisan kesejahtaraan

biologi hutan

Memperlakukan hutan untuk kemaslahatan

biologi hutan

Selamatkan hutan untuk masa depan planet bumi

Senin, 11 Januari 2016

PERKEMBANGAN BUNGA DAN BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina L. )

Struktur bunga saga

Tanaman A. pavonina termasuk tanaman hermaphrodites  yaitu organ reproduski jantan (putik/stylus) dan organ reproduksi  betina (benang sari/stamen) terdapat dalam satu bunga. Kelopak bunga  berbentuk corong berwarna hijau pucat.  Mahkota bunga (sepal/corolla) berwarna  kuning berbentuk bintang yang berjumlah  4-5 helai.  Benang sari berjumlah 8-10 dengan tangkai benang sari (filament) panjang ± 1 cm berwarna kuning pucat. Kepala sari (anther) berwarna coklat muda.  Struktur bunga A. pavonina selengkapnya disajikan pada Gambar 2.
Struktur bunga saga
Gambar  (Figure) 2.    Struktur bunga A. pavonina (Structure of A.pavonina flower).
Pada tanaman A. pavonina tata letak bunga betina (putik) lebih tinggi dibandingkan bunga jantan (benang sari).  Perpanjangan putik tersebut merupakan salah satu mekanisme memperlancar terjadinya outcossing, dengan cara menjauhkan anther dan kepala putik pada tahap perkembangan organ betina (Moncur dan Boland, 1989). Oleh karena itu untuk proses penyerbukan diperlukan bantuan agen penyerbuk atau polinator.  Berdasarkan struktur bunga yang berbentuk malai dan jumlah bunga yang banyak serta dengan bau dan warna mencolok, maka diduga polinator tanaman A. pavonina adalah serangga.

Tahapan perkembangan bunga-buah

Fase atau tahap pembentukan bunga merupakan suatu tahapan perkembangan awal dari pembungaan pembuahan yang dimulai dari terbentuknya tunas generatif atau tunas primordia bunga (apeks meristem reproduksi) hingga bunga mekar (anthesis).   Secara umum, tahapan perkembangan organ generatif A. pavonina (bunga-buah) terbagi dalam 5 fase  yaitu (1) pembentukan bunga; (2) penyerbukan dan pembentukan buah/benih; (3) pertumbuhan buah; (4) pemasakan buah/benih; dan (5) penyebaran (dispersal).  Hasil pengamatan terhadap perkembangan bunga-buah pada pohon A. pavonina mulai dari bunga kuncup hingga terbentuknya buah (polong) masak dapat dilihat pada Tabel 2 dan  Gambar 1 . 
Tabel (Table) 2.  Tahapan perkembangan pembungaan pembuahan pohon A. pavonina (Developmental stages of flowering and fruiting of A. pavonina).

Fase
(Stages)
Kondisi Bunga-Buah
(Flower-fruit condition)
Periode (hari)
(Days)
Pembentukan bunga
(Fruit formation)
Bunga kuncup hingga bunga mekar
(Flower buds up to flower blooms)
13 (8 -12)
Penyerbukan dan Pembentukan buah/
benih (Pollination and seed formation)
Bunga mekar hingga polong kecil
(Flower blooms up to small pods)
12 (8 – 15)
Perkembangan buah
(Fruit development)

Polong kecil hingga polong berisi benih lunak
(Small pods up to pods containing soft seeds)
12 (1014)
Perkembangan buah masak
(Seed maturation)
Polong berisi benih lunak  hingga berisi benih padat
(Pods containing soft seeds up to pods containing hard seeds)
9 (7 – 12)
Polong berisi benih padat berwarna hijau hingga polong berwarna hitam
(Green pods containing hard seed up to black pods)
26 (21 – 30)
Penyebaran  (Dispersal)
Polong hitam hingga polong pecah
(Black pods up to opened pods)
17 (15 - 21)
TOTAL
89 (69 - 104)
           
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas bunga A. pavonina terletak pada ketiak daun (axillary), berwarna hijau dengan panjang sekitar  0,1 - 0,2 cm.  Pada jenis tanaman ini tunas generatif muncul bersamaan dengan tunas vegetatif atau tunas primordia daun (apeks meristem vegetatif).  Tunas bunga A. pavonina kemudian berkembang menjadi bunga kuncup yang berbentuk bulir-bulir dan tersusun memanjang dalam satu rangkaian bunga yang disebut malai (compound inflourescences).  Jumlah  bunga kuncup dalam setiap malai berkisar 121 - 427 butir dengan panjang malai 7 - 22 cm.  Selanjutnya bunga kuncup A. pavonina membesar yang diikuti dengan pertambahan ukuran panjang malai serta perubahan warna kuncup yang pada awalnya berwarna hijau hingga akhirnya berwarna hijau kekuningan.  Kuncup bunga yang membesar menandakan sedang berlangsungnya proses pembentukan dan perkembangan ovari serta alat reproduksi yaitu putik dan benang sari (Sedgley dan Griffin, 1989).   
Tahap perkembangan bunga dan buah
Gambar (Figure)  1.  Perkembangan pembungaan pembuahan tanaman A. pavonina mulai (a) bunga kuncup sampai bunga mekar; (b) bunga yang telah diserbuki; (c) buah/polong muda; (d) polong yang telah berisi benih; (e) polong masak (The developmental of flowering and fruiting of A. pavonina (a) flower bud and flower burst; (b) pollinated flowers;(c) young fruits; (d) fruits with developed seeds;(e) mature fruit).
Bunga selanjutnya mekar (anthesis). Proses mekarnya bunga terjadi secara bertahap mulai dari pangkal menuju ke pucuk malai (bersifat acropetally).   Jumlah bunga mekar dalam setiap malai berkisar antara 230 -  290 bunga.   Bunga A. pavonina yang telah mekar berwarna kuning.  Rata-rata waktu yang dibutuhkan hingga bunga A. pavonina mulai mekar adalah 13 hari.
Fase penyerbukan dan pembentukan buah/benih dimulai sejak terjadi penyerbukan atau menempelnya benang sari (pollen) pada kepala putik (stigma).  Bunga  A. pavonina yang telah terserbuki dapat dibedakan dari mahkota bunganya yang berwarna orange. Proses perkembangan tersebut terjadi selama 8 – 15 hari atau rata-rata 12 hari. 
Setelah terjadi penyerbukan maka dimulailah fase pertumbuhan buah/benih.  Buah A. pavonina berbentuk polong.  Rata-rata ukuran panjang polong yang masih kecil adalah 0,8 cm.  Polong A. pavonina tumbuh dan berkembang hingga menjadi polong yang berisi benih lunak, dan kemudian berubah menjadi polong yang padat dan berwarna hijau segar.    Setiap polong berisi 10-12 butir biji.  Periode waktu yang dibutuhkan selama fase ini sangat panjang yaitu 47 hari (3856 hari) karena terjadinya proses pertumbuhan polong mulai  dari berukuran panjang 0,8 cm hingga akhirnya mencapai panjang 15 - 20 cm dengan kondisi mulai belum berisi ovul atau benih hingga berisi benih padat.  Kemudian polong yang berwarna hijau beransur-ansur berubah warna menjadi hitam.  Rata-rata waktu yang dibutuhkan hingga menjadi polong berwarna hitam adalah 17 hari (1521 hari).
Tahapan akhir dari proses perkembangan bunga buah saga adalah fase penyebaran benih (dispersal).  Tahapan ini ditandainya dengan polong kering berwarna coklat kehitaman dan pecah dengan sendirinya. Rata-rata waktu yang dibutuhkan dari polong utuh hingga polong mulai pecah selama 17 hari.   Sehingga waktu yang diperlukan dari mulai terbentuknya kuncup bunga yang berbentuk bulir hingga polong pecah mencapai  69 – 104 hari atau sekitar 2  3,5 bulan dengan rata-rata 89 hari atau sekitar 3 bulan
 (oleh  Kurniawati Purwaka Putri dan Agus Astho Pramono)

Tulisan ini merupakan ringkasan dari bagian artikel berjudul:  Perkembangan bunga, buah dan Keberhasilan reproduksi saga ( Adenanthera pavonina L. )
Cara penulisan sitiran (Citation):
Putri, K.P. dan Pramono, A.A. 2013. Perkembangan bunga, buah dan Keberhasilan reproduksi saga ( Adenanthera pavonina L. ). Jurnal Hutan Tanaman. Vol 10. No 3. p147-157.

Silahkan baca artikel selengkapnya di: http://www.seedtechs.net/2016/01/fenologi-saga.html

Kamis, 07 Januari 2016

SAGA

Saga (Adenanthera pavonina L.) dari Famili Leguminosae merupakan tanaman asli dari India yang sudah beradaptasi lama dengan iklim di Indonesia.    A. pavonina  atau yang dikenal dengan nama saga pohon hidup dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan terkena sinar matahari secara langsung, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi pada ketinggian 1-600 m dpl  (Heyne, 1987).  

Pohon  A. pavonina  memiliki manfaat yang serbaguna karena hampir semua bagian tanaman dapat digunakan dan bernilai ekonomis.  Batang pohon A. pavonina  dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan serta mebel.  Selain itu,  dengan nilai energi (6.628 cal/g) yang dihasilkannya, maka kayu  A. pavonina sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan bahan pembuatan arang (Kurniaty et al., 2011). 

Komposisi nutrisi  (protein, lemak dan karbohidrat) biji  A. pavonina relatif tinggi yang hampir sama dengan kacang kedelai.   Penilaian terhadap kandungan protein  menunjukkan kualitas yang baik, dengan asam amino esensial relatif lengkap dan menunjukkan konsentrasi tinggi (Oey et al.,1981 dalam Adimunca, 1988).   Biji A. pavonina memiliki komposisi asam lemak tidak jenuh (82,24 %) yang lebih tinggi dari asam lemak jenuh (17,76 %) (Lembaha Kimia Nasional, 1983). Dengan kandungan asam lemak tersebut, biji saga pohon berpotensi sebagai sumber energi terbarukan (biodisel).   Timnas Pengembangan BBN (2008) menyatakan bahwa saga memiliki potensi yang cukup menjanjikan sebagai biodiesel diantaranya karena daging biji yang mengandung 14-28 %  minyak lemak yang tergolong Non Pangan.  Selain berpotensi sebagai biodiesel, minyak dari biji A. pavonina sangat baik untuk mengobati penyakit dalam, kudis, luka-luka, pembuatan lilin, industri batik, dan bahan membuat sabun (Kurniaty et al., 2011).  
Berdasarkan kemanfaatan dari tanaman A. pavonina tersebut, maka perlu adanya pengembangan melalui kegiatan penanaman khususnya pada daerah-daerah yang membutuhkan bahan bakar untuk pengembangan industri  atau daerah-daerah  yang menghadapi keterbatasan dalam pasokan bahan bakar untuk kegiatan rumah tangga.  Pengembangan saga pohon sebagai sumber energi memerlukan pemahaman yang komprehensif dari teknik budidaya, teknik produksi, hingga teknik pemanfaatnnya. Untuk mendukung penyediaan informasi tentang teknik pengadaan bibit dan teknik produksi buah saga, maka diperlukan pemahaman tentang potensi dan kendala produksi benih saga antara lain tahapan-tahapan  perkembangan organ reproduktif, dan periode  waktu yang dibutuhkan dari setiap tahapan perkembangan tersebut,  serta tingkat keberhasilan reproduksinya.  Pemahaman tentang keberhasilan reproduksi dari saga diperlukan dalam menentukan strategi tentang jumlah pohon, keragaman genetik dan kerapatan pohon yang diperlukan dalam rangka pengembangan tanaman A. pavonina,  sebagai penghasil benih atau sebagai penghasil biji dengan kualitas dan kuantitas yang optimal. Keberhasilan reproduksi dapat diprediksi dengan mengetahui proses pembungaan seperti musim, waktu, periode dan juga intensitas dari pembungaan dan pembuahan suatu jenis (House, 1977). 

Daftar Pustaka
Adimunca, C.  1988.  Keadaan Fisiologis Hati Tikus Putih Strain LMR yang Diberi Ransum Biji Saga Pohon (Adenanthera pavonina Linn). Jurnal Cermin Dunia Kedokteran Volume 51 : 20 – 24.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
House, S. 1977.  Reproductive Biology of Eucalypts. In : Eucalypts Ecology, eds Williams, J.E dan J.C.Z. Woinarski, Cambridge University Press. Cambridge.  30 -50 pp.
Kurniaty, R., A.A. Pramono., K.P. Putri dan R.U. Sianturi. 2011. Laporan Hasil Penelitian Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2011 (unpublish).
Lembaga Kimia Nasional.  1983.  Hasil Analisis Asam Lemak dari Minyak Biji Saga Pohon. Lembaga Kimia Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.  Bandung.  
Timnas Pengembangan Bahan Bakar Minyak nabati.  2008.  Bahan Bakar Nabati, Bahan Bakar Alternatif dari Tumbuhan Sebagai Pengganti Minyak Bumi dan Gas.   Penebar Swadaya.  Jakarta. Pp. 164

 
.
(Oleh Kurniawati Purwaka Putri dan Agus Astho Pramono)

Tulisan ini merupakan ringkasan dari bagian artikel berjudul:”Perkembangan bunga buah dan keberhasilan reprodukai jenis saga (Adenanthera pavvonina L.).

Baca artikel selengkapnya di http://www.seedtechs.net/2016/01/fenologi-saga.html

Selasa, 05 Januari 2016

Dormansi Benih

Pada lingungan dengan kondisi yang baik bagi perkecambahan seperti cukup air, temperatur cocok dan komposisi atmosfer normal, pada benih-benih tertentu proses perkecambahan tidak terjadi. Benih ini sebenarnya viabel, karena benih dapat berkecambah jika mendapatkan perlakuan khusus sebelum dikecambahkan. Benih demikian inilah yang dikatakan benih dorman, atau benih yang berada dalam tahap dormansi. 

Benih ganitri
Benih ganitri harus diberi perlakuan pemecahan dormansi untuk mengecambahkannya
Secara fisiologis,  Evenari dalam Schopmeyer (1974) menerangkan bahwa  benih untuk bisa berubah menjadi kecambah harus melewati  3 tahap yang saling saling tumpang tindih yaitu: 1) absorpsi air terutama melalui imbibisi, proses ini menyebabkan membengkaknya benih, dan juga menyebabkan pecah atau merekahnya kulit benih, 2) bersamaan dengan itu terjadi aktivitas enzimatik, peningkatan kecepatan respirasi (yang membutuhkan oksigen) dan assimilasi yang ditandai dengan penggunaan cadangan makanan, dan translokasi ke area pertumbuhan, dan 3) pembesaran dan pembelahan  sel yang memunculkan akar dan plumule.
Dormansi ini dapat diakibatkan oleh bermacam-macam hal, mungkin karena embryo belum masak, kulit biji impermeabilitas terhadap gas, atau sebab-sebab lain (Mayer & Poljakoff-Mayber, 1963). Penyebab dormansi yang sangat meluas adalah karena pada beberapa jenis tanaman benih memiliki  organ tambahan berupa struktur penutup benih yang keras.  Kulit demikian ini ditemui pada banyak jenis dari beberapa famili. Kulit benih yang keras ini  biasanya menyebabkan dormansi melalui satu dari tiga cara, yang menurut Mayer & Poljakoff-Mayber (1963) adalah   kulit yang keras mungkin menyebabkan impermeabel terhadap air, impermeabel terhadap gas atau mungkin secara mekanik menekan perkembangan embrio.
Impermeabilitas air dan gas karena struktur kulit yang keras  banyak terjadi pada jenis-jenis dari keluarga Leguminoceae dan Caesalpineaceae. Kulit benih ini  tahan terhadap gesekan dan kadang terlindungi oleh lapisan seperti lilin. Kulit benih yang keras ini sebenarnya secara alamiah berfungsi untuk mencegah kerusakan benih dari serangan jamur atau serangga predator (Leadem, 1997). Menurut Mayer & Poljakoff-Mayber (1963) kulit benih ini baru  akan menjadi permeabel jika kulit benih telah terkikis melalui beberapa cara. Di hutan, secara alamiah kulit benih akan hancur, terkikis, terlunakkan oleh gosokan mekanis, serangan mikrobia, kebakaran hutan, karena pengaruh keasaman tanah, atau mengalami dekomposisi kimiawi setelah melalui saluran pencernakan hewan. Atau, bisa jadi benih mengalami deraan cuaca, temperatur panas dan dingin yang bergantian mengakibatkan memuai dan mengkerutnya benih sehingga benih lekang atau retak.  Contoh dari fenomena ini, seperti yang ditulis oleh Khurana dan Singh (2001), adalah benih Gmelina arborea dan Acacia nilotica yang jika terkunyah domba dan kambing kecepatan perkecambahannya meningkat. Benih dari Acacia senegal dan Ceratonia siliqua mudah berkecambah setelah melewati saluran pencernaan kambing. Dormansi benih Tectona grandis juga dapat dipatahkan oleh rayap. Demikian juga dengan benih tanaman Cecropia obstusifolia yang menunjukkan peningkatan perkecambahan setelah melewati saluran pencernaan kelelawar.
Perlakuan pada kondisi laboratorium merupakan adopsi dari kejadian alam seperti di atas. Berbagai macam cara telah dikembangkan untuk memecahkan permasalahan dormansi karena kulit benih yang keras ini, yaitu melalui perlakuan pendahuluan sebelum benih dikecambahkan. Perlakuan ini antara lain adalah perlakuan dengan perendaman dalam air, skarifikasi dengan bahan kimia,  dan  skarifikasi mekanik.

Tulisan ini merupakan ringkasan dari bagian artikel berjudul: Pemecahan dormansi pada benih-benih berkulit keras.

Cara penulisan sitiran:
Pramono, A.A. 2006. Pemecahan dormansi pada benih-benih berkulit keras.Info Benih. Vol. 1. No. 1. p 69-78.

Baca artikel utuh: http://rimbabenih.blogspot.co.id/2016/01/pemecahan-dormansi-pada-benih-benih.html
Lainnya

Senin, 04 Januari 2016

Buah bambang lanang (Michelia campaca)

Tahap perkembangan buah bambang lanang  

Tahapan pembuahan dimulai setelah organ penyusun bunga (tepalla, benang sari dan kepala putik) layu dan gugur. Bunga yang gugur menyisakan bintil-bintil yang tersusun spiral pada bonggol berwarna putih kekuningan (kumpulan ovarium). Bagian ujung dari bintil terdapat sisa putik yang berwarna coklat.  Bintil-bintil yang sudah terbuahi berkembang selama kurang lebih 60 hari menjadi buah yang matang, tahapan perkembangan buah dapat dilihat pada Gambar 1.

Tahap-tahap perkembangan buah Michelia campaca
Gambar (Figure)1. Tahap-tahap perkembangan buah(development stages of fruiting of bambang lanang)


Buah yang sudah tua atau matang ditandai dengan kulit buah yang berwarna merah  muda kecoklatan dengan bintik putih. Setelah matang kulit buah terbelah dimulai dari ujung bonggol sampai ke pangal bonggol dan didalamnya terdapat biji yang diselubungi daging buah (jaringan tipis yang menyelimuti benih) berwarna merah muda (Gambar 2). Buah yang sudah terbelah apabila tidak langsung dipanen akan jatuh ke tanah. Benih dilindungi oleh kulit buah yang berwarna hitam dengan permukaan keriput dan keras (Gambar 2C).

bagian-bagian buah Michelia campaca
Gambar 2.  (a). Bonggol buah matang (panicle of fruits), (b). Buah matang (matured fruits), (c). Benih (seeds)


Kaitan antara ukuran buah dengan jumlah benih


Pada satu bonggol terjadi keragaman ukuran buah, dimana terdapat buah berukuran besar maupun buah berukuran kecil dan bahkan masih terdapat bintil yang gagal berkembang. Keragaman ukuran buah berhubungan dengan jumlah benih yang terkandung di dalamnya. Semakin besar ukuran buah jumlah benih yang terbentuk di dalamnya semakin banyak (Gambar 3). Perbedaan jumlah benih yang dihasilkan setiap buah mungkin disebabkan oleh perbedaan jumlah ovul yang terbuahi selama proses fertilisasi.
 
Variasi ukuran buah Michelia campaca
Gambar 3.Berbagai ukuran  buah bambang lanang dalam satu bonggol: berukuran kecil (a)  berukuran besar (b) bakal buah yang tidak berkembang (c) (kiri) dan jumlah biji dalam satu buah (kanan) (d) susunan benih di dalam buah. Various sized fruit in a knob M. Camphaca : small size (a) large (b) ovarry not develop (c) (left). And number of seeds in a fruitfruit (d) seed arrangement in different size of fruit.
Hasil analisis regeresi menunjukkan adanya kaitan yang kuat antara ukuran buah dengan jumlah benih yang terdapat di dalamnya. Jumlah benih paling berpengaruh kuat terhadap panjang buah yang dapat dirumuskan dalam persamaan regresi linear log10(Jb) =  - 1.529 + 1.610 log10(P), dengan R2=46,3%. Di mana P= panjang buah dan JB= jumlah benih. Jumlah benih berpengaruh kuat terhadap panjang buah karena buah bambang lanang berbentuk polong sehingga semakin banyak benih semakin panjang buah. Namun demikian, semakin banyak benih juga berpengaruh terhadap lebar buah,  karena, ketika buah berisi banyak benih maka benih tidak tersusun berderet rapi tetapi cenderung saling menumpuk (Gambar 3 d). 

Hubungan ukuran buah dengan jumlah benih
Gambar (Figure) 4. Hubungan antara ukuran buah dengan jumlah benih yang dihasilkan(Relationship between size  of fruits and number of seeds)

Fruit set bambang lanang

Perkembangan buah dan jumlah benih yang dihasilkan dalam satu buah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata jumlah buah, jumlah benih dan jumlah buah yang tidak berkembang dalam satu bonggol(Average of fruits, seeds and undeveloped fruits of panicle)

No.
Jumlah bonggol
(Average  number of observed cones)
Rata-rata jumlah bintil (organ ♀) /bonggol
(Average  number of female gamet./cone)
Rata-rata jumlah buah/bonggol (Average number of fruits/cone)
Jumlah bintil yang tidak berkembang/
bonggol
(Average  number of undeveloped fruits/cone)
Persen bintil yang gagal berkembang (%)
(The percentage of
undeveloped fruits)

Persentase jadi buah (fruit set)
1
25
44,92 ± 11,36
18,88 ± 8,30
26,04 ± 9,39
57,97
42,03
2
20
40,25 ± 12,07
17,20 ± 7,73
23,60 ± 8,29
57,84
42,16
3
24
34,76 ± 10,72
14,67 ± 6,91
21,04 ± 8,21
58,93
41,07
4
30
42,60 ± 6,94
15,53 ± 5,21
26,50 ± 7,25
63,05
34,78
5
30
48,32 ± 5,41
21,03 ± 8,01
26,37 ± 10,11
55,63
44,37
Rataan




59,12
40,88

Dari Tabel 1 terlihat bahwa persen keberhasilan dari bonggol untuk menghasilkan buah lebih rendah dibandingkan dengan bintil yang gagal berkembang dalam bonggol. Rata-rata persentase terbentuknya bintil menjadi buah sekitar 40,88% sedangkan untuk bintil yang gagal berkembang sebesar 59,12%.  Bintil buah yang tidak berkembang menjadi buah kemungkinan disebabkan sel telur (ovul) tidak terbuahi atau zigot yang gagal berkembang membentuk biji.
Bambang lanang memiliki organ seksual hermaprodit. Fenomena umum dari tanaman hermaprodit adalah menghasilkan ratio buah/bunga yang rendah (Liao et al., 2009, Holland et al., 2004). Persentase bunga (bintil) yang menjadi buah pada tanaman bambang lanang rata-rata adalah sebesar 40,88%. Nilai fruit set ini hampir sama dengan tanaman hutan lainnya seperti Acacia leucophloea dan Albizzia procera, masing-masing 40% (Syamsuwida et al., 2011).  Pembentukan buah (fruit set) dipengaruhi oleh banyak faktor yang berhubungan dengan biologi reproduksi termasuk sistem penyerbukan dan perilaku pembungaannya. Menurut Garibaldi et al. (2013) penyerbukan merupakan faktor pembatas utama dalam produksi buah. Pembungaan yang melimpah akan menarik hewan penyerbuk untuk  mengunjungi bunga, selain itu ketersediaan sumberdaya polen juga merupakan faktor yang penting dalam produksi buah (Cuevas et al., 2014).
Posisi bunga saat mekar, dimana letak stigma (kepala putik) dan benang sari tidak sama jaraknyadapat mempengaruhi proses penyerbukan. Bunga yang mekarnya menghadap ke atas dan benang sari yang letaknya lebih rendah daripada putik menyebabkan proses penyerbukan sangat tergatung pada faktor luar. Faktor yang memungkinkan untuk membantu dalam proses penyerbukan adalah serangga. Warna yang menarik memungkinkan serangga untuk berkunjung lebih besar dan secara tidak langsung serbuk sari akan menempel pada kaki serangga (Tjitrosoepomo, 2005). Organ betina bunga bambang lanang terletak pada bagian atas bonggol dan organ jantan pada bagian bawah. Posisi ini juga menyebabkan perlunya agen penyerbuk untuk melakukan penyerbukan. Agen penyerbuk dapat berupa biotik (hewan serangga) atau non-biotik (angin). Dalam hal ini, masih perlu dilakukan penelitian terkait vektor penyerbuk pada bambang lanang.

Tulisan ini merupakan ringkasan dari bagian artikel berjudul:"Perkembangan bunga dam buah bambang lanang (Michelia champaca)" 

Cara penulisan sitiran:
Rustam, E., Pramono, A.A. dan Syamsuwida, D. 2014. Perkembangan bunga dam buah bambang lanang (Michelia champaca). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol 2. No2. p.67-76.

Silahkan baca juga Bunga bambang lanang (Michelia campaca)

Coba isi lagi