biologi hutan

Mengenal hutan dari DNA hingga ekosistem

biologi hutan

Mengenal hutan sebagai penjaga keseimbangan alam

biologi hutan

Mengenal hutan sebagai warisan kesejahtaraan

biologi hutan

Memperlakukan hutan untuk kemaslahatan

biologi hutan

Selamatkan hutan untuk masa depan planet bumi

Rabu, 30 Desember 2015

BUNGA BAMBANG LANANG (Michelia campaca)

Bambang lanang (Michelia campaca) merupakan salah satu dari beberapa jenis tanaman hutan yang berdasarkan pemanfaatannya digolongkan sebagai pohon penghasil kayu.  Di Sumatera jenis bambang lanang ini dijadikan unggulan daerah. Pemanfaatan yang berasal dari hutan alam sudah sangat mempengaruhi ketersediaan jenis ini di alam. Pelestarian dan pengembangan perlu dilakukan sehingga keberlangsungan populasi jenis bambang lanang tetap terjaga. Pengenalan biologi reproduksi dari tanaman jenis ini berperan dalam upaya konservasinya.

 Bunga Michelia campaca kuncup dan mekar

 

Struktur bunga

Bunga bambang lanang merupakan bunga sempurna (hermaprodit) yaitu memiliki alat reproduksi bunga (organ ♀ dan  ♂) terletak dalam satu bunga. Saat bunga mekar terlihat benang sari (organ ♀) berada pada dasar bunga sementara putik tersusun secara spiral dalam bentuk bonggol sehingga posisi putik lebih tinggi dari benang sari. Secara umum bagian-bagiandari bunga bambang lanang tersusun menurut garis spiral (Tjitrosoepomo,2005).Struktur bunga seperti ini merupakan faktor pembatas dalam proses pembentukan buah/biji yang dikenal sebagai dikogamy dimana posisi stigma (kepala putik) tidak sejajar/berjauhan dengan posisi anther (penghasil polen).
Bagian-bagian bunga Michelia campaca

Gambar (Figure) 2. Organ reproduktif pada bunga kuncup (A) dan bunga mekar(B)
(reproductive parts of shoot flower (A) and burst flower (B))
Posisi bunga saat mekar, dimana letak stigma (kepala putik) dan benang sari tidak sama jaraknyadapat mempengaruhi proses penyerbukan. Bunga yang mekarnya menghadap ke atas dan benang sari yang letaknya lebih rendah daripada putik menyebabkan proses penyerbukan sangat tergatung pada faktor luar. Faktor yang memungkinkan untuk membantu dalam proses penyerbukan adalah serangga. Warna yang menarik memungkinkan serangga untuk berkunjung lebih besar dan secara tidak langsung serbuk sari akan menempel pada kaki serangga (Tjitrosoepomo, 2005). Organ betina bunga bambang lanang terletak pada bagian atas bonggol dan organ jantan pada bagian bawah. Posisi ini juga menyebabkan perlunya agen penyerbuk untuk melakukan penyerbukan. Agen penyerbuk dapat berupa biotik (hewan serangga) atau non-biotik (angin). Dalam hal ini, masih perlu dilakukan penelitian terkait vektor penyerbuk pada bambang lanang.

Perkembangan bunga

Fenologi pembungaan atau proses pembungaan merupakan tahap reproduksi yang sangat penting untuk memperoleh hasil akhir yaitu biji (Ashari, 1998). Tahapan dalam pembungaan berupa induksi bunga (evokasi), inisiasi bunga, perkembangan kuncup bunga menuju anthesis, anthsesis, penyerbukan dan pembuahan serta perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji (Elisa, 2004). 
Pengamatan perkembangan bunga dimulai dari munculnya tunas generatif pada ketiak daun (axyllary) berupa benjolan kecil sampai bunga mekar. Tahapan perkembangan bunga dapat dilihat pada gambar 1.
Tahap-tahap perkembangan bunga Michelia campaca
Gambar 1. Tahap-tahap perkembangan bunga (IDevelopment satge of flowering of bambang lanang)
Proses perkembangan bunga berlangsung selama kurang lebih 24 hari, dimulai dari munculnya kuncup generatif pada ketiak daun. Selanjutnya kuncup generatif akan terus membesar berwarna hijau dan kuncup kuning. Kuncup diselubungi oleh daun pelindung dengan warna menyerupai warna tepala bunga. Setelah bunga hampir mekar daun pelindung akan membuka atau membelah dan terakhir lepas seiring mekarnya bunga


Tulisan ini merupakan ringkasan dari bagian artikel berjudul:"Perkembangan bunga dam buah bambang lanang (Michelia champaca)"

Cara penulisan sitiran:
Rustam, E., Pramono, A.A. dan Syamsuwida, D. 2014. Perkembangan bunga dam buah bambang lanang (Michelia champaca). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol 2. No2. p.67-76.

Minggu, 27 Desember 2015

POLA PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU JATI





Jati  (Tectona grandis L. f), yang dikenal sebagai salah satu jenis kayu tropis yang paling berharga di pasar internasional, termasuk dalam suku Verbenaceae. Jati tumbuh secara alami di wilayah Asia bagian tenggara. Daerah sebaran asli dari jati meliputi India, Myanmar, dan Thailand.

Jati pertama kali ditanam di  Indonesia (di Pulau Jawa) diperkirakan pada abad ke 2 Masehi, yang dilakukan oleh para penyebar agama Hindu. Saat ini jati telah dikenal secara luas dan dikembangkan oleh pemerintah, swasta dan petani. Tanaman ini telah banyak dikembangkan, bahkan di beberapa tempat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan tradisional masyarakat.

Di Indonesia, jati banyak dikembangkan dalam bentuk HTI terutama oleh Perum Perhutanai  atau oleh masyarakat umum dalam bentuk hutan rakyat. Di Jawa jati merupakan jenis pohon penghasil kayu yang penting. Pohon ini sudah lama dikenal dan diminati oleh masyarakat sehingga pengembangannya sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, pedagang, dan industri pengolahan, dan secara  umum berperan dalam pembangunan daerah dan nasional.

Berbagai buku tentang teknik buididaya jati sudah banyak beredar, namun secara umum pola-pola pengembangan atau teknik-teknik silvikultur yang disampaikan, masih berorientasi pada percepatan pertumbuhan pohon jati. Sangat jarang ditemukan informasi tentang teknik silvikultur yang mempertimbangkan  pengaruhnya terhadap kualitas kayu.

Kualitas kayu?

Walaupun istilah kualitas kayu banyak digunakan namun tidak mudah untuk didefinisikan, dan persepsi tentang kualitas kayu dapat berbeda di antara sektor atau industri pengguna kayu yang berbeda. Mitcell dalam Macdonald & Hubert (2002) menyatakan bahwa kualitas adalah resultante dari karakteristik fisik dan kimiawi yang dimiliki sebuah pohon atau bagian dari pohon yang dapat memenuhi sifat yang diinginkan dari produk akhir (end product) yang berbeda, sedangkan Briggs dan Smith dalam Macdonald & Hubert (2002) menambahkan bahwa kualitas kayu sebagai kesesuaian dari sifat kayu dengan penggunaan akhir tertentu. Dengan demikian untuk menentukan kriteria kualitas kayu jati maka perlu dipahami atau diidentifikasi sifat-sifat kayu jati yang diperlukan oleh pengguna akhirnya .

Jati dihargai tinggi oleh industri kayu karen sifat fisik dan mekaniknya yang superior, dan juga karena penampilan estetikanya yang menarik. Kayu terasnya secara alami awet dan tahan terhadap pathogen (Kokutse  et al. 2004). Karena keawetan dan nilai dekoratifnya, kayu jati dikenal sesuai untuk banyak kegunaan baik untuk kebutuhan eksterior maupun interior, termasuk konstruksi, mebel, dan cabinet, bantalan rel, veneer dekoratif, joinery, badan kendaraan dan kapal,  pertambangan,  produk-produk  reconstitute dan lain-lain (Bhat, 2000).

Oleh karena itu Bhat (2000) menyatakan bahwa faktor struktural yang seharusnya menjadi perhatian pengelola hutan jati adalah tinggi pohon, diameter batang, bentuk batang, frekuensi dan ukuran mata kayu, tegangan kayu , proporsi kayu juvenile, karakteristik (warna dan ekstraktif), tekstur dan urat kayu (grain). Menurut Bhat, 1998 dalam PĂ©rez & Kanninen (2005) sifat penting yang diinginkan oleh pengguna akhir pada jati adalah batang lurus dengan bentuk silindris,  dengan puntiran dan mata kayu sedikit, proporsi kayu juvenil dan tegangan kayu yang rendah, proporsi kayu teras tinggi (> 85%), kerapatan kayu optimum (> 0.675 g cm–3), and kekuatan kayu cukup (MOR > 135 N mm–2).

Pola pertumbuhan jati yang ritmik dan pengaruhnya terhadap kualitas kayu

Secara umum pertumbuhan pohon di wilayah tropis dapat dkelompokkan menjadi 2 pola yaitu pertumbuhan ritmik (rhythmic growth) dan pertumbuhan kontinyu (continuous growth). Pada pertumbuhan ritmik, tunas  secara endogen memiliki pola perpanjangan periodik yang jelas, sedangkan pada pertumbuhan kontinyu, tunas  tidak menunjukkan karakteristik tumbuh secara periodik (Halle et al.,1978).   

Jati termasuk jenis tanaman yang memiliki pola pertumbuhan ritmik. Pada musim penghujan tunas-tunas tumbuh memanjang, kemudian daun-daun membentuk tajuk yang subur dan hijau, sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya ketika seluruh daun gugur dan pohon terhenti pertumbuhannya. 

Pada beberapa jenis pohon, pertumbuhan ritmik terekspresikan dengan terbentuknya sejumlah cabang secara periodik. Contohnya adalah pulai (Alstonia sp), ketapang (Terminalia sp) dan damar (Agathis sp). Pola pertumbuhan ini berpengaruh terhadap kualitas kayu. Misalnya pada jenis pulai, selama periode dorman tunas utama mati, kemudian pada periode berikutnya muncul tunas ortotroph baru yang tumbuh dengan cepat.  Bekas-bekas tunas yang mati pada periode dorman menyebabkan terbentuknya cacat-cacat mata kayu.

Pada jati pola pertumbuhan jati juga berpengaruh terhadap kualitas kayu. Pola pertumbuhan tunas  memiliki korelasi dengan aktifitas cambium. Pertumbuhan jati yang ritmik menyebabkan terbentuknya lingkaran tahun (growth ring) yang nyata. Penelitian oleh Rao dan Rajput (1999) di pada hutan deciduous kering di Gujarat, India, mengungkapkan bahwa pembelahan sel kambium dan diferensiasi  simultan menjadi xylem dan floem mulai terjadi di bulan Juni ketika tunas yang dorman mulai tumbuh. Pembelahan terjadi pada puncaknya di bulan Juli-Agustus membentuk zona kambium yang lebar dengan 13-20 lapis sel, kemudian menurun secara gradual dan berhenti di bulan November. Selanjutnya pada bulan-bulan yang lain zone kambium terbentuk tipis yaitu 5-8 lapis sel. Hasil penelitiannya juga mengungkapkan bahwa pola dan periode dari aktifitas cambium ini pada jati yang berasal dari wilayah kering berbeda dengan jati yang berasal dari daerah basah.

Pembelahan sel kambium yang ritmik ini membentuk lingkaran tahun dan manjadi salah satu daya tarik dari kayu jati. Dengan demikian faktor endogen maupun faktor lingkungan yang mempengarui aktifitas kambium ini akan berpengaruh terhadap nilai dekoratif dari kayu jati. Misalnya curah hujan di Jawa barat yang lebih tinggi daripada di Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut penelitian Nobuchi et al (2005) menyebabkan perbedaan warna yang lebih kontras. Pengaruh pertumbuhan ritmik terhadap terhadap kualitas kayu tergantung pada tujuan  produk akhir atau selera pasar. Pasar tertentu mungkin lebih menyukai kayu jati dengan warna atau pola lingkaran tahun tertentu, sedangkan di pasar lain atau karena selera pasar berubah mungkin kayu jati dengan pola  dan warna yang berbeda lebih dipilih
(Oleh: Agus Astho Pramono)


Coba isi lagi